SENYAP (THE LOOK OF SILENCE)
Sebuah
film Karya Joshua Oppenheimer yang
membahas tentang tragedi pembunuhan massal tahun 1965 di Indonesia. Karya kedua
setelah “Jagal” yang mengambil sudut pandang dari pelaku pembunuhan massal
1965, sebaliknya “Senyap” mengambil sudut pandang dari keluarga korban yang
dituduh sebagai anggota PKI.
Saat
mendengar kata PKI, pasti yang ada dibenak kita adalah PKI itu kejam, PKI itu
berbahaya, dan stigma negatif lainnya. Tetapi, apakah kita pernah berfikir
kembali saat mendengar berbagai tuduhan seperti itu? Apakah kita pernah mencari
tahu kenapa PKI dituduh seperti itu, padahal dalam sejarahnya PKI berhasil
menduduki tiga partai terbesar yang memenangkan pemilu pada tahun 1955? Apakah
kita tidak memiliki keingintahuan bagaimana salah satu partai yang mendapatkan
suara terbanyak menjadi dibenci bahkan dikecam berbahaya, kejam dan yang
lainnya? Sedikit lebihnya hal ini telah dibahas dalam diskusi setelah nobar
film “Senyap” bersama kawan-kawan UKMF Prima.
Dalam
sejarahnya, faham komunis memang berasal dari luar negeri. Namun faham komunis
yang dibawa oleh PKI berbea dengan faham komunis yang dipakai di luar negeri,
karena PKI juga memiliki rasa Nasionalis terhadap tanah air mereka yaitu
Indonesia. Di Indonesia PKI merupakan organisasi yang cukup besar dengan
keanggotaannya yang sangat banyak, karena berasal dari buruh tani, pekerja
sosial, dan lain sebagainya yang merupakan kalangan masyarakat bawah. Itulah
mengapa dalam pemilu tahun 1955 PKI dapat mendapatkan suara yang sangat banyak.
Namun
hal tersebut tidak bertahan lama seperti yang terjadi dalam tragedi G 30 S atau
Gestapu, meskipun hal ini masih banyak diperdebatkan. Dalam buku “Siapa
Sebenarnya Soeharto” dijelaskan bahwa anggota PkI yaitu Latief, Untung, dan
Soepardjo yang menjadi penggerak dalam G 30 S memang dimanfaatkan oleh Soeharto
dan CIA untuk menggulingkan Soekarno dan menghancurkan PKI. Ya, karena Amerika
sendiri tidak ingin Indonesia memiliki faham komunis yang bertolak belakang
dengan faham liberal, dan ingin menjadikan Indonesia sebagai negara
anti-komunis. Dengan dalih adanya isu tentang Dewan Jenderal yang akan
melakukan kudeta. Akhirnya pada 30 Oktober atau 01 September 1965 dini hari,
pasukan Tjakrabirawa yang dipimpin oleh Letkol Untung bergerak menculik dan
membunuh enam Jenderal TNI AD.
Setelah
tragedi tersebut, image PKI dikalangan masyarakat berubah drastis karena diduga
akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Republik Indonesia, sehingga rakyat
menuntut agar PKI segera dibubarkan. Keadaan saat itu sangat kacau balau,
hingga Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) kepada
Soeharto, yang masih menjadi misteri tentang kebenaran isinya, namun dikatakan
bahwa isi dari Supersemar tersebut adalah pemberian wewenang kepada Soeharto
untuk melakukan tindakan pengamanan negara. Sehingga Soeharto langsung bergerak
menangkap dan menjatuhi hukuman mati terhadap anggota PKI yang diduga terlibat
tragedi G 30 S. Namun tak berhenti disitu, Soeharto malah memburu dan membunuh,
menangkap, dan mengasingkan semua anggota PKI, para simpatisan PKI dan
organisasi-organisasi yang diduga termasuk dalam PKI, sehingga dapat dikatakan
bahwa hal tersebut merupakan pembunuhan massal terhadap para anggota PKI. Hal
tersebut berlanjut dengan turunnya Soekarno dan digantikan ole Soeharto sebagai
Presiden Republik Indonesia.
Saat
pemerintahan Soeharto, seakan-akan digencarkan propaganda=propaganda negatif
tentang PKI. Sehingga masyarakat menjadi takut bahkan sangat membenci PKI,
pembuatan film G 30 S/PKI, pembelokan sejarah tentang PKI, dan lain sebagainya.
Di dalam film Senyap, dihadirkan keluarga korban pembunuhan massal terhadap PKI
dan kesaksian para pembunuh yang menjadi pelaku pembunuhan massal tersebut.
Dan
akhir-akhir ini pertanyaan tentang kebenaran tragedi tersebut muncul kembali,
ya mungkin karena saat ini kebebasan pers, kebebasan berpendapat telah diakui.
Berbeda dengan masa pemerintahan Soeharto yang membungkam pers, dan
menyembunyikan sejarah. Pernahkah kita berfikir, “Mengapa
sebuah persoalan yang berlangsung hampir setengah abad lalu belum tuntas?” Saat
pertanyaan di atas diajukan, kita pun mungkin bingung untuk menjawabnya.
Jawaban sederhananya, mungkin lantaran sejarah adalah milik para pemenang.
Dalam huru-hara 1965 yang keluar sebagai pemenang adalah pelaku. Korban berada
di pihak yang kalah.
Hanif Hidayattulloh(Ilmu Administrasi
Negara/170910201036)