Senin, 30 April 2018

Review Film



SENYAP (THE LOOK OF SILENCE)



Sebuah film Karya Joshua Oppenheimer  yang membahas tentang tragedi pembunuhan massal tahun 1965 di Indonesia. Karya kedua setelah “Jagal” yang mengambil sudut pandang dari pelaku pembunuhan massal 1965, sebaliknya “Senyap” mengambil sudut pandang dari keluarga korban yang dituduh sebagai anggota PKI.

Saat mendengar kata PKI, pasti yang ada dibenak kita adalah PKI itu kejam, PKI itu berbahaya, dan stigma negatif lainnya. Tetapi, apakah kita pernah berfikir kembali saat mendengar berbagai tuduhan seperti itu? Apakah kita pernah mencari tahu kenapa PKI dituduh seperti itu, padahal dalam sejarahnya PKI berhasil menduduki tiga partai terbesar yang memenangkan pemilu pada tahun 1955? Apakah kita tidak memiliki keingintahuan bagaimana salah satu partai yang mendapatkan suara terbanyak menjadi dibenci bahkan dikecam berbahaya, kejam dan yang lainnya? Sedikit lebihnya hal ini telah dibahas dalam diskusi setelah nobar film “Senyap” bersama kawan-kawan UKMF Prima.

Dalam sejarahnya, faham komunis memang berasal dari luar negeri. Namun faham komunis yang dibawa oleh PKI berbea dengan faham komunis yang dipakai di luar negeri, karena PKI juga memiliki rasa Nasionalis terhadap tanah air mereka yaitu Indonesia. Di Indonesia PKI merupakan organisasi yang cukup besar dengan keanggotaannya yang sangat banyak, karena berasal dari buruh tani, pekerja sosial, dan lain sebagainya yang merupakan kalangan masyarakat bawah. Itulah mengapa dalam pemilu tahun 1955 PKI dapat mendapatkan suara yang sangat banyak.

Namun hal tersebut tidak bertahan lama seperti yang terjadi dalam tragedi G 30 S atau Gestapu, meskipun hal ini masih banyak diperdebatkan. Dalam buku “Siapa Sebenarnya Soeharto” dijelaskan bahwa anggota PkI yaitu Latief, Untung, dan Soepardjo yang menjadi penggerak dalam G 30 S memang dimanfaatkan oleh Soeharto dan CIA untuk menggulingkan Soekarno dan menghancurkan PKI. Ya, karena Amerika sendiri tidak ingin Indonesia memiliki faham komunis yang bertolak belakang dengan faham liberal, dan ingin menjadikan Indonesia sebagai negara anti-komunis. Dengan dalih adanya isu tentang Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta. Akhirnya pada 30 Oktober atau 01 September 1965 dini hari, pasukan Tjakrabirawa yang dipimpin oleh Letkol Untung bergerak menculik dan membunuh enam Jenderal TNI AD.

Setelah tragedi tersebut, image PKI dikalangan masyarakat berubah drastis karena diduga akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Republik Indonesia, sehingga rakyat menuntut agar PKI segera dibubarkan. Keadaan saat itu sangat kacau balau, hingga Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) kepada Soeharto, yang masih menjadi misteri tentang kebenaran isinya, namun dikatakan bahwa isi dari Supersemar tersebut adalah pemberian wewenang kepada Soeharto untuk melakukan tindakan pengamanan negara. Sehingga Soeharto langsung bergerak menangkap dan menjatuhi hukuman mati terhadap anggota PKI yang diduga terlibat tragedi G 30 S. Namun tak berhenti disitu, Soeharto malah memburu dan membunuh, menangkap, dan mengasingkan semua anggota PKI, para simpatisan PKI dan organisasi-organisasi yang diduga termasuk dalam PKI, sehingga dapat dikatakan bahwa hal tersebut merupakan pembunuhan massal terhadap para anggota PKI. Hal tersebut berlanjut dengan turunnya Soekarno dan digantikan ole Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia.

Saat pemerintahan Soeharto, seakan-akan digencarkan propaganda=propaganda negatif tentang PKI. Sehingga masyarakat menjadi takut bahkan sangat membenci PKI, pembuatan film G 30 S/PKI, pembelokan sejarah tentang PKI, dan lain sebagainya. Di dalam film Senyap, dihadirkan keluarga korban pembunuhan massal terhadap PKI dan kesaksian para pembunuh yang menjadi pelaku pembunuhan massal tersebut.

Dan akhir-akhir ini pertanyaan tentang kebenaran tragedi tersebut muncul kembali, ya mungkin karena saat ini kebebasan pers, kebebasan berpendapat telah diakui. Berbeda dengan masa pemerintahan Soeharto yang membungkam pers, dan menyembunyikan sejarah. Pernahkah kita berfikir, “Mengapa sebuah persoalan yang berlangsung hampir setengah abad lalu belum tuntas?” Saat pertanyaan di atas diajukan, kita pun mungkin bingung untuk menjawabnya. Jawaban sederhananya, mungkin lantaran sejarah adalah milik para pemenang. Dalam huru-hara 1965 yang keluar sebagai pemenang adalah pelaku. Korban berada di pihak yang kalah.



Hanif Hidayattulloh(Ilmu Administrasi Negara/170910201036)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dampak adanya Virus Corona Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat

Dampak adanya Virus Corona Terhadap Kehidupan Sosial Masyaraka t Nama : Nita Purnamasari NIM : 180910302003          Duni...