Trotoar, Untuk PKL atau Pejalan Kaki?
Pembangunan
merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam upaya membangun sarana prasarana
pelayananan terhadap masyarakat. Salah
satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Jember adalah merevitaslisasi/menata
kembali trotoar dan perbaikan drainase air yang berada di sekitar wilayah
Kampus Universitas Jember. Pembangunan ini dilakukan dikarenakan sering
terjadinya banjir ketika hujan deras mengguyur wilayah tersebut.
Dalam proses
pembangunannya Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Bina Marga dan Sumber Daya Air
menggandeng perwakilan PKL untuk pengukuran trotoar yang akan dibangun.[i]
Namun hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah trotoar yang dibangun nantinya
hanya digunakan oleh PKL untuk kepentingan pribadinya? Khususnya yang berada di
sepanjang Jalan Jawa, karena para PKL kebanyakan berdagang di sepanjang Jalan
Jawa.
Pada dasarnya,
fungsi trotoar adalah sebagai jalur yang aman bagi pejalan kaki, seperti yang
tercantum dalam Pasal 31 ayat 1 UULLAJ bahwasanya ketersediaan fasilitas
trotoar merupakan hak pejalan kaki. Trotoar juga berperan pentng dalam
menciptakan kenyamanan dan kenikmatan bagi masyarakat dan dengan banyaknya
pengguna trotoar maka dapat menyumbangkan penurunan kepadatan lalu lintas
terutama di Jalan Jawa. Lain halnya jika nanti setelah pembangunan trotoar
selesai dan digunakan oleh PKL, maka hal ini merupakan pelanggaran dikarenakan
digunakan sebagai kepentingan pribadi PKL itu sendiri. Selain itu, hadirnya PKL
yang menggunakan trotoar juga menggusur hak pejalan kaki, sehingga pejalan kaki
yang seharusnya menggunakan trotoar akan berjalan di pinggir-pinggir jalan dan
dapat mengancam keamanan pejalan kaki dikarenakan ramainya para pengendara yang
melintasi Jalan Jawa.
Seharusnya
keberadaan trotoar khususnya di Jalan Jawa nantinya dapat dimanfaatkan oleh
pejalan kaki sebagaimana mestinya. Mengingat wilayah tersebut merupakan wilayah
kampus dan sekolah, sehingga banyak dari kalangan mahasiswa dan siswa yang akan
mengakses trotoar tersebut, tidak berjalan di pinggir jalan raya dan
keamanannya dapat terjamin. Selain untuk pejalan kaki, keberadaan trotoar juga
disediakan untuk orang-orang difabel khususnya yang mengalami kesulitan dalam
pengelihatan. Memang trotoar yang dibangun nantinya akan disediakan guilding block yang dikhususkan bagi
penyandang tunanetra, namun jika nanti PKL masih tetap beroperasi di atas trotoar
maka tetap saja bagi kaum difabel tidak dapat mengakses trotoar dengan
fasilitas yang telah disediakan. Padahal seharusnya trotoar dapat diakses oleh
semua kalangan masyarakat pejalan kaki sesuai dengan fungsinya.
Trotoar yang
dibangun di Jalan Jawa pun hanya mempunyai lebar 2 meter, berdasarkan informasi
dari DPU Bina Marga dan Sumber Daya Air ketika mengukur trotoar yang hendak
dibangun. Kita bayangkan saja, jika trotoar tersebut telah selesai dibangun dan
PKL tetap beroperasi di atas trotoar tersrbut, maka para pejalan kaki yang
seharusnya mempunyai hak untuk mengakses trotoar tersebut akan tergusur oleh
para PKL, dan para pejalan kaki nantinya akan berjalan di pinggir-pinggir jalan
yang dapat mengancam keselamatan mereka. Selain itu PKL juga dapat merusak estetika
dari trotoar yang telah dibangun, karena dengan berdirinya lapak-lapak dagang
yang didirikan oleh PKL dapat menutupi trotoar yang ada.
Dengan berbagai
pandangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan tersebut kurang
efektif atau bahkan dapat dikatakan tidak efektif, karena tidak mengedepankan
fungsi trotoar yang sebenarnya melainkan hanya sekedar membangun dan selesai
tanpa mempertimbangkan bagaimana fungsi trotoar nanti kedepannya. Hal ini
membutuhkan berbagai solusi demokratis sehingga setiap pihak dapat merasakan
hak-haknya dalam menikmati fasilitas yang disediakan oleh pemerintah. Trotoar
yang dapat dinikmati oleh pejalan kaki dari berbagai kalangan, dan PKL yang
dapat beroperasi tanpa mengganggu hak-hak pejalan kaki yang ada.
Ada berbagai solusi
yang telah disampaikan kepada pemerintah kabupaten Jember untuk mengatasi hal
tersebut, sehingga setiap pihak mendapatkan haknya masing-masing, salah satu
contohnya adalah “Pujasera” (Pusat Jajanan Serba Ada). Usulan ini disampaikan
oleh Kepal Humas Protokol Universitas Jember Agung Purwanto melalui siaran
radio dari Radio Republik Indonesia(RRI) pada 25 Agustus 2017. Dimana nantinya
Pujasera akan menampung PKL dan sekaligus memiliki fasilitas parkir, sehingga
setiap yang akan memasuk Pujasera maka kendaraannya harus diparkir di salah
satu tempat. Hal ini tidak akan mengganggu lalu lintas yang ada karena tempat
parkir disentralkan di satu tempat bukan di sepanjang jalan. Konsep ini mirip
dengan yang diterapkan oleh pemerintah Yogyakarta di Malioboro ysng menerapkan
sistem ramah pejalan kaki. Menurut Agung, hal ini lebih efektif daripada
merelokasi para PKL ke tempat yang lebih besar yang memungkinkan terjadi
penolakan.[ii]
Namun hal ini juga harus disertai kerjasama dari PKL itu sendiri, sebab
hakikatnya mereka telah melanggar aturan dengan berjualan di atas trotoar yang
sejatinya digunakan oleh pejalan kaki.
Pujasera telah berjalan, namun menurut saya hal tersebut masih kurang efektif untuk mengatasi PKL yang ada di sekitar Kampus terutama di Jalan Jawa. Pemerintah bekerja sama dengan Universitas Jember untuk mendirikan Pujasera, baru satu Pujasera yang sudah berjalan, yaitu di Jalan Kalimantan dan hal tersebut memang dapat mengurangi PKL yang ada di sana. Namun masih tetap ada dan bahkan masih banyak PKL yang berjualan di Jalan Kalimantan. tentu saja hal ini membutuhkan perhatian khusus dan kerjasama dari berbagai pihak, terutama Pemerintah dan PKL.
Pujasera hanya
salah satu upaya untuk mengatasi permaslahan trotoar yang ada di sekitar Kampus
Universitas Jember, mestinya masih banyak lagi upaya-upaya yang dapat dilakukan
oleh Pemerintah Kabupaten Jember, maupun pihak-pihak lainnya sehingga dapat
mewujudkan kenyamanan dalam menikmati fasilitas yang disediakan khususnya
trotoar yang pada hakikatnya adalah hak pejalan kaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar