La Tay'as (Jangan
Putus Asa)
Ibroh dari Kehidupan
Teroris dan Korbannya
Pada Hari Senin, tanggal 30 April 2018, AIDA (Aliansi Indonesia Damai) mengadakan seminar dan bedah buku "La Tay'as (Jangan Putus Asa), Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya" di Auditorium Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember, bekerja sama dengan UKMF LIMAS dan bapak Honest selaku pembina LIMAS. Acara tersebut menghadirkan Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, Perintis Tanoker di Ledokombo, ibu Farha Abdul Kadir Assegaf. kemudian pakar terorisme, bapak Sofyan, mantan pelaku terorisme, bapak Iswanto, dan korban dari tragedi Bom Bali, ibu Ni Luh Erniati.
Buku
berjudul "La Tay'as (Jangan Putus Asa), Ibroh dari Kehidupan Teroris dan
Korbannya" yang diluncurkan oleh AIDA (Aliansi Indonesia Damai) merupakan
hasil dari pengalaman dan pemikiran penulis selama lima tahun terakhir dari
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi selama mendampingi dan membantu para korban dari
terorisme dan memfasilitasi merekan untuk berkonsiliasi dengan para mantan
terorisme yang telah sadar dan bertobat.
Buku ini
merupakan hasil dari review dan refleksi dari kehidupan para mantan pelaku
terorisme ekstremis dan kehidupan para korban dari pelaku terorisme tersebut.
buku ini juga merupakan usaha dari penulis dalam mengimplementasikan teori dari
Mikhail Bakhtin seorang filsuf Rusia, mengenai dialogisme dan mengubah sistem
monopoli dari satu pihak menjadi poli-poli dari berbagai pihak. Di sini penulis
bersama AIDA berusaha mempertemukan para korban dari tragedi terorisme dengan
para mantan pelaku terorisme, sehingga ada dialog antara dua pihak yang
berkaitan.
Banyak yang
mengatakan bahwa terorisme hanyalah isu-isu yang digunakan oleh negara-negara
adidaya untuk membuat suatu konspirasi, Namun perlu diketahui bahwa terorisme
merupakan sebuah realitas yang memang ada dan sedang terjadi di dunia, bukan
hanya sekedar isu yang disebarkan di tengah masyarakat. Sehingga untuk
mengatasi terorisme tersebut harus dimulai dari kesadaran diri setiap
masing-masing individu, kesadaran bahwa terorisme memang ada, bukanlah sebuah
isu konspirasi dan terorisme harus dilawan.
Kegiatan-kegiatan
yang bersifat terorisme sering dilakukan oleh golongan-golongan ekstremisme,
dan mereka sering kali mencari anak-anak muda untuk dijadikan sebagai kader dan
pejuang jihad dalam melakukan aksi-aksi terorisme. Mereka memanfaatkan semangat
dari anak muda yang sedang mencari jati diri dan idealisme yang sesuai dengan
dirinya, golongan ekstremis tersebut memasukkan pemikiran-pemikiran radikalisme
terhadap anak muda, sehingga anak-anak muda mudah terprovokasi untuk melakukan
kegiatan-kegiatan yang bersifat terorisme. Hal ini telah terjadi sejak masa khulafaur
rasyidin, pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan hingga Khalifah Ali bin
Thalib. dan saat itulah titik tolak berkembangnya golongan-golongan ekstremis
yang sering mengkafirkan orang-orang yang tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah,
dan sering mengumandangkan perang sebagai jalan jihad fi sabilillah.
golongan-golongan
ekstremis juga menggunakan instansi pendidikan sebagai sara mereka mencari
anak-anak muda yang akan mereka jadikan kader pejuang jihad yang akan melakukan
kegiatan-kegiatan terorisme. Mengapa di instansi pendidikan, ya karena di
instansi pendidikan anak-anak muda berkumpul dan di sana mereka sedang menempuh
pendidikan untuk mencari idealisme mereka. Sehingga, langkah awal yang harus
dilakukan dalam mencegah dan melawan aksi terorisme pertama kali adalah
membersihkan dan mensterilkan pihak-pihak dalam instansi pendidikan dari
ideologi-ideologi ekstremis, teroris dan radikalisme.
Di
Indonesia gerakan-gerakan Ekstremis sudah ada, seperti yang dilakukan oleh
gerakan Jamaah Islamiyah (JI) yang berada dibalik tragedi Bom Bali tahun 2002.
Gerakan Ekstremis ini sudah berkembang sejak tahun 1980-an oleh Abu Bakar
Bashir. Dalam mengembangkan gerakannya, JI melakukan kajian-kajian Islam
terkait dengan jihad dan provokasi bahwa jihad adalah perang dan kekerasan,
serta mengadakan pelatihan-pelatihan militer bagi anggota-anggotanya di wilayah
hutan-hutan pelosok Indonesia, agar terhindar dari pemerintah. JI terus
melakukan aksi-aksi terorisme hingga pada tahun 2000-an ketika tragedi Bom Bali
1 dan 2. Hingga akhirnya Polda Metro Jaya dapat menangkap para pelaku dan
anggota gerakan ekstremis terebut.
Saat
ini para pelaku sebagian besar telah sadar akan perbuatannya dan mengaku
bertobat atas kesalahan-kesalahan yang telah mereka lakukan setelah mendapat
hukuman dari polda metro jaya. Dengan dibantu dan didampingi oleh AIDA, para
mantan pelaku terorisme satu persatu menemui para korban dari tragedi-tragedi
terorisme. Seperti yang terjadi kepada Iswanto yang merupakan mantan pelaku
terorisme dari Jamaah Islamiyah dengan Ibu Ni Luh Erniati yang merupakan suami
dari korban tragedi Bom Bali yang terjadi pada tahun 2002. Memang sulit bagi
pihak korban untuk memaafkan pelaku, namun apa gunanya menyimpan rasa dendam
terus menerus yang hanya akan membuat hati korban terus merasakan sakit. Lagi
pula lebih penting menumbuhkan suatu perdamaian daripada hanya menyimpan rasa
dendam.
Tragedi
Terorisme seperti yang terjadi pada Bom Bali menimbulkan dampak yang begitu
besar di Indonesia, terutama yang dialami oleh para korban maupun keluarga
korban. Karena tragedi itu meninggalkan trauma dan duka tersendiri bagi korban
yang kehilangan anggota tubuh maupun anggota keluarga yang dicintai. Maka dari
itu, sebagai bangsa Indonesia, kita harus melawan terorisme untuk menjaga
keutuhan persatuan dan kesatuan Negara republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar